Kampung PSK Legendaris di Korsel Tinggal Menghitung Hari. Ini yang Terjadi
Berita Kriminal - Di Jakarta, dulu ada lokalisasi Kramat Tunggak. Di Surabaya ada Kampung Dolly.
Nah, di Korea Selatan juga ada lokalisasi yang legendaris, Cheongnyangni 588.
Pusat prostitusi terbesar di negara ini terletak di timur laut Seoul.
Kini, pusat pelacuran yang terkenal puluhan tahun itu tinggal menghitung hari karena pemerintahan setempat, Desember 2017 lalu menyatakan bahwa lahan lokalisasi itu akan ganti pemilik mulai Maret ini.
Ternyata pernyataan itu bukan isapan jempol meskipun awalnya banyak yang menyangsikan.
Pengusaha 165 rumah bordil yang mempekerjakan ribuan PSK itu akhirnya baru percaya setelah pemerintah menyatakan bahwa di kawasan seluas 41.586 meter persegi itu akan dibangun pusat perbelanjaan 42 lantai plus apartemen.
Tanpa pemaksaan, akhirnya pengelola rumah bordil itu bubar secara perlahan.
Kini, kawasan yang hanya lima menit berjalan kaki dari Stasiun Keretaapi Cheongnyangni ini sepi seperti kampung yang dilanda perang.
Sebelumnya, kios-kios berdinding kaca yang berderet sepanjang jalan ini tak ubahnya seperti akuarium atau etalase kaca.
Lebih dari seribu perempuan berpakaian seksi merayu pria-pria yang lewat di jalan.
Namun, jendela-jendela kaca itu sudah banyak yang hancur serta ditandai dengan silang merah dan tulisan besar "pembongkaran".
Meskipun masih ada delapan toko di kawasan ini menyatakan menolak untuk pindah, tetapi, seperti laporan The Korea Herald, penolakan mereka tidak akan berarti lagi.
Meskpun demikian, masih ada satu atau dua wanita sedang duduk di depan toko tersebut mencari pelanggan.
Hanya saja, mereka mengaku, hampir tak ada pria hidung belang yang mau mampir ke tempat mereka.
Menurut Kantor Kecamatan Dongdaemun, 85 persen dari 716 rumah di kawasan itu, termasuk toko-toko sudah dibersihkan.
Sisanya masih dalam negosiasi untuk kompensasi ganti rugi.
Lokalisasi Cheongnyangni 588 ini memang terus terdesak oleh ekspansi bisnis di wilayah itu.
Lokasinya sangat menjanjikan karena berada dekat terminal bus utama di Seoul, stasiun kereta api dan kereta bawah tanah.
Seorang agen real estate di dekat Cheongnyangni Station mengatakan bahwa para pengembang akan membeli berapa saja rumah-rumah bordil itu untuk bisnis mereka, jauh di atas harga tanah.
Alhasil, sebagian besar pengusaha esek-esek tergiur oleh tawaran pengembang dan kemudian menjual tempatnya.
Bahkan, begitu mereka meninggalkan tempat mereka, pengembang langsung melakukan pembongkaran sehingga kawasan yang biasa ramai itu seperti kota habis perang.
Harga tanah berikut propertinya dihargai sekitar 1-hingga juta won atau sekitar Rp 11,8 juta per meter.
Sementara, sewa properti untuk esek-sek di tempat itu hanya sekitar 3 juta won per tahun.
Yoo Deok-yeol, kepala Pemerintah Kota Dongdaemun mengatakan tidak ada pemindahan paksa karena tanah mereka dihargai sangat tinggi.
Namun, pengelola rumah bordil juga tidak punya pilihan lain karena Korsel menerbitkan Undang Undang Antiprostitusi pada tahun 2004 lalu.
Karena itu, jika mereka tetap menolak, pemerintah tentu punya senjata untuk mengusir mereka menggunakan UU tersebut.
Lokalisasi Cheongnyangni 588 terkenal sejak tahun 70-an dan semakin terkenal di tahun 1980-90 an.
Setidaknya, lebih dari 1.000 pekerja seks komersial menjajakan layanannya di kawasan yang juga dikenal dengan kawasan lampu merah ini.
Kenapa namanya Cheongnyangni 588?
Ada dua pendapat yang berbeda. Ada yang mengatakan bahwa 588 itu berasal dari nomor distrik di masa lalu, sementara yang lain menyebutkan bahwa angka itu menunjukkan jumlah bus yang beroperasi di kawasan itu ketika terminal bus dibangun.
Menurut statistik, hingga tahun lalu, ada 44 kawasan lokalisasi di Korea, tetapi jumlahnya terus menurun drastis.
Pemerintah menggunakan UU tersebut untuk menyulap kawasan maksiat itu untuk berbagai proyek prestisius.
Tahun 2010, lokalisasi di sekitar Stasiun Yongsan di pusat kota Seoul "diakuisisi" oleh Samsung.
Kemudian, lokalisasi Miari di Seoul utara telah berubah menjadi perumahan elit.
Sedangkan Cheonho-dong di tenggara Seoul dan Yeongdeungpo di barat daya Seoul juga terdesak oleh mal dan properti.
Lalu, kemana para "anak mami" ini kini mengadu nasib?
Kendati mereka tidak nongkrong lagi di Cheongnyangni 588, namun bisnis esek-esek tetap marak.
Ada yang kemudian berpindah ke salon, tempat karaoke atau panti pijat.
Tetap paling banyak, mereka mencari pelanggan lewat online.
Oalah, sama saja ya, dengan di Indonesia?














Tidak ada komentar: